NURJATINEWS.COM – BANDUNG Keputusan tegas Kepala Daerah Metropolitan (KDM) menghentikan sementara penyaluran dana hibah ke pesantren menjadi titik balik penting dalam pembenahan keuangan publik Jawa Barat. Di tengah sorotan publik, terungkap bahwa total dana hibah yang pernah digelontorkan pemerintah provinsi mendekati Rp 3 triliun.
dengan mayoritas mengalir ke Kabupaten Tasikmalaya dan sekitarnya. Fakta ini menggugah pertanyaan: apakah dana sebesar itu benar-benar untuk dakwah dan pendidikan, atau sekadar mengukuhkan kenyamanan elite di balik nama agama?
Kontras yang menyayat hati pun muncul. Saat lembaga keagamaan menerima gelontoran miliaran, rakyat kecil justru harus menanggung akibat dari tunggakan BPJS senilai Rp300 miliar. Ribuan warga miskin kehilangan hak dasar untuk berobat karena daerah gagal membayar kewajibannya. Ketika dana publik lebih cepat cair untuk kepentingan simbolik daripada untuk menyelamatkan nyawa rakyat, maka jelas ada yang keliru dalam skema keadilan sosial kita.
Santri tetap membayar iuran bulanan, orang tua mereka tetap bekerja keras, namun lembaganya menikmati aliran dana tanpa transparansi memadai. Ini bukan persoalan menentang pesantren—justru inilah upaya menyelamatkan marwah pesantren sebagai lembaga moral, agar tak terseret menjadi alat politik kekuasaan dan kepentingan kelompok.
Penghentian dana hibah oleh KDM bukan sekadar kebijakan anggaran, tetapi sinyal kuat bahwa era pengelolaan uang rakyat tanpa akuntabilitas telah berakhir. Masyarakat kini menanti keberanian lanjutan: audit menyeluruh, keterbukaan penerima hibah, dan alokasi ulang anggaran untuk sektor yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat kecil—kesehatan, pendidikan umum, dan lapangan kerja.
Keadilan anggaran bukan sekadar soal angka, tapi tentang empati. Tentang apakah seorang anak di pelosok bisa berobat ketika demam tinggi, atau seorang petani tua bisa mengakses layanan kesehatan tanpa khawatir ditolak. Kita tak butuh pemimpin yang dekat dengan simbol, tapi yang berpihak pada kehidupan nyata rakyatnya.
(Mumuh.M)